Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Apa itu Satelit Orbit 123 derajat BT dan Kronologi Kekisruhannya?

Selasa, 18 Januari 2022 16:04 WIB

Iklan

Kejaksaan Agung menilai pengelolaan slot satelit orbit 123 derajat BT dilakukan dengan buruk. Sejumlah pejabat di Kemenhan diduga terlibat.

Kejaksaan Agung memeriksa dugaan korupsi pengelolaan satelit untuk slot Satelit Orbit 123 derajat Bujur Timur yang terjadi sejak 2015 di Kementerian Pertahanan. Kejaksaan Agung bahkan telah menaikan dugaan penanganan kasus pengelolaan slot satelit orbit 123 BT ke tahap penyidikan, 14 Januari lalu. Jaksa menilai proyek penempatan satelit pada orbit ini tak direncanakan dengan baik oleh Kementerian Pertahanan.

“Seharusnya saat itu kita tidak perlu menyewa satelit tersebut karena di ketentuannya saat satelit yang lama tidak berfungsi masih ada waktu 3 tahun. Masih ada tenggang 3 tahun tetapi dilakukan penyewaan," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Adriansyah.

Slot orbit 123 BT merupakan satu dari tujuh wilayah angkasa yang diberikan oleh International Telecommunication Union (ITU) kepada Indonesia. Slot orbit ini sempat dipakai untuk Satelit Garuda-1 yang masa operasinya berakhir pada 2015. Slot ini berpotensi lepas dari tangan Indonesia jika tidak ada satelit pengganti.

19 Januari 2015
Satelit Garuda keluar orbit dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan. Aturan International Telecommunication Union (ITU) PBB menyatakan negara pengelola diberi tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Jika tidak, slot itu bisa digunakan negara lain.

Desember 2015
Kementerian Pertahanan mengajukan hak pengelolaan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, seiring proyek satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan).

6 Desember 2015
Kementerian Pertahanan menyewa Satelit Artemis, satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited. Padahal Kementerian Komunikasi belum menyetujui permintaan Kementerian Pertahanan.

29 Januari 2016
Kementerian Komunikasi baru menyetujui penggunaan slot orbit 123 derajat Bujur Timur.

2015-2016

  • Kementerian Pertahanan menekan kontrak dengan perusahaan operator satelit: Navayo. Tapi anggaran untuk proyek ini belum tersedia pada 2015.
  • Navayo menyerahkan barang yang dianggap tidak sesuai spesifikasi tapi tetap diterima dan diteken pejabat Kementerian Pertahanan.

2016
Anggaran untuk proyek Satkomhan tersedia, tapi Kementerian Pertahanan melakukan self blocking untuk penghematan.

2017
Lewat Arbitrase di London, Avanti menggugat Indonesia karena dianggap wanprestasi akibat belum membayar sewa satelit L-band Artemis. Kontrak sewa Artemis dari Avanti senilai US$ 30 juta, tapi Kementerian Pertahanan baru membayar US$ 13,2 juta.

25 Juni 2018
Kementerian Pertahanan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kementerian Komunikasi.

9 Juli 2019
Arbitrase di London memutuskan Indonesia harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp 515 miliar.

2019
Navayo berdasarkan kontrak 2016 menagih US$ 16 juta kepada Kementerian Pertahanan. Pemerintah menolak membayar. Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

22 Mei 2021
Arbitrase Singapura memutuskan Indonesia harus membayar Rp 314 miliar kepada Navayo.


Potensi kerugian negara: sekitar Rp 800 miliar

Saksi yang diperiksa Kejagung sejauh ini: 11 orang


INGE KLARA | SUMBER DIOLAH TEMPO



Grafis Terkait

    Grafis terkait tidak ada