Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Lini Masa Konflik Pertanahan di Pulau Rempang

Kamis, 14 September 2023 12:15 WIB

Iklan

Berdasarkan catatan sejarah, Pulau Rempang telah dihuni masyarakat lokal sejak Indonesia belum merdeka.

Namun, hak warga Pulau Rempang atas tanah leluhurnya terus terkatung-katung. Belakangan, mereka malah akan dipindahkan demi menyulap Pulau rempang menjadi kawasan industri dan wisata.

1971

  • BJ Habibie menginisiasi pembentukan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Saat itu, Habibie mencetuskan Barelang (Batam, Rempang, dan Galang) saling tehubung untuk meningkatkan geliat ekonomi.

1973

  • Presiden Soeharto menerbitkan Kepres Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau Batam langsung oleh Presiden RI melalui Badan Otorita. 

1980

  • Pulau Rempang dan sekitarnya—selain Pulau Batam—masuk daerah pemekaran Kecamatan Galang, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Semula, daerah ini masuk Kecamatan Bintan Selatan. 

1992

  • Soeharto kembali menerbitkan Kepres Nomor 28 Tahun 1992. Pulau Rempang, Galang, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya masuk wilayah Daerah Industri Pulau Batam. Wilayah baru ini menyandang status quo sehingga Otorita Batam belum bisa mengalokasikan peruntukannya.

1999-2000

  • Kota Batam dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2000. Masalah pembagian kewenangan antara Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam, termasuk dalam urusan pertanahan, muncul. 

2002

  • Di tengah terhambatnya layanan pengelolaan lahan, Pemkot Batam mengeluarkan edaran yang melarang camat dan lurah melayani pengurusan surat tanah perorangan ataupun badan hukum. 

2004

  • Otorita Batam, Pemerintah Kota Batam, dan PT Makmur Elok Graha (MEG) meneken perjanjian pengelolaan serta pengembangan Pulau Rempang, Galang, dan Setokok pada 26 Agustus 2004. Perjanjian ini mencakup area seluas lebih dari 17 ribu hektare. PT MEG diwakili Tomy Winata.

2007

  • Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dibentuk lewat Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2007. Otorita Batam berubah menjadi Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).
  • Rencana pengembangan Rempang kembali mencuat ke publik. Beredar surat kaleng yang menyebutkan bahwa perjanjian 2004 merugikan keuangan negara. Bareskrim Polri pada November 2007 sempat memanggil Tomy Winata. Namun kasus itu tak berlanjut.

2015

  • PT MEG kembali melayangkan surat kepada Pemkot Batam dan BP Batam untuk tindak lanjut kerja sama. Perseroan juga mulai meminta dukungan pemerintah pusat. 

2016-2021

  • Pembahasan percepatan rencana pengembangan Rempang berlanjut di tingkat pusat, dengan melibatkan Kementerian Koordinator Kemaritiman serta Kementerian Koordinator Perekonomian. Rempang sempat disiapkan menjadi kawasan ekonomi khusus. 

2022

  • PT MEG menerima surat pernyataan minat Xinyi Group. Kementerian Koordinator Perekonomian meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempercepat proses pelepasan kawasan hutan yang sudah lama diusulkan PT MEG melalui BP Batam, Pemkot Batam, serta Pemprov Kepulauan Riau. 

2023

  • Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyerahkan HPL kepada BP Batam. Kementerian Koordinator Perekonomian meluncurkan proyek pengembangan Rempang yang digarap PT MEG dengan tajuk “Rempang Eco-City”. Pada 28 Agustus, proyek ini masuk daftar proyek strategis nasional.
  • BP Batam menindaklanjuti dengan mematok tanah untuk menyiapkan lahan proyek dan merelokasi penduduk. Warga Rempang, yang lebih dari dua dekade tak bisa mengurus legalisasi tanah mereka, melawan dan menolak relokasi sehingga terjadi bentrokan dengan aparat keamanan pada 7 September 2023. 
INGE KLARA | SIMBER DIOLAH TEMPO


Grafis Terkait