Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Rencana Merevisi UU TNI Dikritik

Senin, 15 Mei 2023 12:00 WIB

Iklan

Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang sedang digodok untuk direvisi dinilai dapat memicu kembalinya dwifungsi ABRI seperti di Orde Baru.

Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI tengah digodok untuk direvisi. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan, rencana itu baru berupa usulan dan belum disampaikan ke Kementerian Pertahanan, serta DPR.

Dinilai Memicu Kembalinya Dwifungsi ABRI
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (revisi UU TNI). Menurut Koalisi, revisi tersebut merupakan kemunduran demokrasi, memicu kembalinya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). 

Berpotensi Menimbulkan Pelanggaran HAM?
Perluasan fungsi ABRI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara bisa membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika mereka dinilai sebagai ancaman keamanan negara. Hak ini berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia).

“Sama saja dengan mengembalikan format dan fungsi militer seperti di masa rezim otoriter Orde Baru,” ujar Centra Initiative, Al Araf.

Berpotensi Melanggar Supremasi Hukum
Di antara sejumlah poin rencana perubahan, Al Araf menilai pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI dinilai berbahaya. Sebab, hal ini membuat TNI dapat menggerakkan operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden dengan dalih menghadapi masalah keamanan dalam negeri.

Padahal kewenangan Presiden tersebut diatur dalam Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. 

Ruang Baru TNI Berpolitik
Dalam draft revisi, terdapat pasal yang memperluas jabatan TNI di area sipil. Hal ini dinilai menjadi ruang baru bagi TNI berpolitik, padahal prejurit TNI di persiapkan untuk alat pertahanan negara, bukan untuk menduduki jabatan-jabatan sipil.

Memperluas Impunitas
Dalam usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI menyatakan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998. Padahal aturan yang ada itu dibuat sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Risiko Penyimpangan Anggaran
Adanya rencana mengubah mekanisme anggaran dari anggaran pertahanan menjadi APBN dinilai berisiko terbukanya ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah dihapus, dan rawan terjadinya penyimpangan.

Prosesnya yang mengajukan langsung ke Kementerian Keuangan juga dinilai melangkahi kewenangan Kementarian Pertahanan.

Pasal-pasal yang diusulkan diubah:

Pasal 3 
Pasal 3 ayat 1 yang semula berbunyi, “pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden” diubah menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden”. 

Pasal 3 ayat 2 ditambahkan bahwa “dalam hal dukungan, anggaran TNI berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan”.

Pasal 7
Dalam Pasal 7 ayat 2 ditambahkan tugas pokok TNI juga melaksanakan diplomasi militer dan perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri Tugas pokok TNI juga ditambahkan untuk mendukung pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman siber. 

Pasal 9 
Pasal 9 butir b sebelumnya berbunyi, “TNI AL bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi” diubah menjadi “menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut sesuai dan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional”.

Pasal 10
Pasal 10 butir b yang semula berbunyi, “TNI AU bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi” diubah menjadi “menegakkan hukum dan menjaga keamanan di ruang udara sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional”.

Pasal 13 

  • Pasal 13 ayat 1 sebelumnya berbunyi, “TNI dipimpin oleh seorang Panglima” diubah menjadi, “TNI dipimpin oleh seorang Panglima berpangkat perwira tinggi bintang empat yang berada di bawah presiden”.
  • Pasal 13 ayat 3 juga diubah menjadi “Panglima dibantu oleh seorang wakil panglima berpangkat perwira tinggi bintang empat”.
  • Pasal 13 ayat 4 sebelumnya berbunyi “jabatan Panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat kepala staf angkatan” menjadi “jabatan Panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat kepala staf angkatan dan/atau wakil panglima”.

Pasal 15 
Pasal 15 ayat 10 semula berbunyi “menggunakan komponen pendukung yang telah disiapkan bagi kepentingan operasi militer” diubah menjadi “menggunakan dan mengembalikan komponen cadangan setelah dimobilisasi dan demobilisasi bagi kepentingan operasi militer”.

Pasal 47 
Dalam Pasal 47, jabatan yang bisa diduduki prajurit TNI ditambahkan menjadi lebih luas. Sebelumnya, prajurit TNI hanya bisa menduduki jabatan di:

  1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam)
  2. Kementerian Pertahanan
  3. Sekretariat Militer Presiden
  4. Badan Intelijen Negara (BIN)
  5. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
  6. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan
  7. Badan Narkotika Nasional
  8. Mahkamah Agung.

Dalam usulan perubahan ditambahkan:

  1. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
  2. Kementerian Kelautan dan Perikanan
  3. Staf Kepresidenan
  4. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
  5. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
  6. Badan Nasional Pengamanan Perbatasan
  7. Badan Keamanan Laut
  8. Kejaksaan Agung
  9. dan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden

Pasal 53 
Pasal 53 tentang usia pensiun yang sebelumnya diatur sampai usai paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama ditambah menjadi “dapat diperpanjang hingga usia 60 tahun untuk prajurit yang memiliki kemampuan, kompetensi dan keahlian khusus”.

Pasal 55 
Dalam ayat 1 ditambah menjadi prajurit diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan karena “meninggal dunia biasa”. Meninggal dunia biasa adalah meninggal dunia karena sebab tertentu yang bukan sedang menjalankan tugas atau bukan karena hubungan dengan pelaksanaan dinas. 

Pasal 65 

  • Pasal 65 ayat 2 sebelumnya berbunyi, “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang” diubah menjadi “Prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum”.
  • Pasal 65 juga ditambah “Prajurit yang terbukti melakukan tindak pidana militer dan tindak pidana umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Militer”.

Pasal 66

  • Pasal 66 ayat 1 soal pembiayaan TNI, diubah menjadi dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Semula pembiayaan TNI didapat dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari APBN. 
  • Pasal 66 ayat 2 soal anggaran yang semula mengajukan kepada Menteri Pertahanan diubah menjadi mengajukan ke Kementerian Keuangan dengan berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan.  

Pasal 67 
Pasal 67 sebelumnya menyebutkan bahwa pemenuhan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahan. Namun, diubah menjadi, Panglima mengajukan kepada Menteri Keuangan.



Grafis Terkait

    Grafis terkait tidak ada