Polemik Mustafa Kemal Ataturk Jadi Nama Jalan di Jakarta
Rabu, 27 Oktober 2021 15:00 WIB
Pemerintah berencana mengganti nama sebuah jalan di Jakarta menjadi Jalan Mustafa Kemal Ataturk. Namun nama yang diajukan malah menimbulkan keresahan.
Pemerintah berencana mengganti nama sebuah jalan di Jakarta menjadi Jalan Mustafa Kemal Ataturk yang merupakan presiden pertama Turki. Langkah ini merupakan aksi balasan terhadap keputusan pemerintah Turki menggunakan nama presiden pertama Indonesia, Soekarno, sebagai nama ruas jalan di depan KBRI Ankara.
Namun nama yang diajukan dianggap menimbulkan keresahan. Pihak yang kontra beranggapan bahwa penggantian nama jalan di Jakarta dengan nama Ataturk akan melukai hati umat Islam. Pasalnya, Ataturk dikenal sebagai pemimpin diktator yang kebijakan-kebijakannya dianggap merugikan umat Islam.
Profil Mustafa Kemal Ataturk
- Nama asli: Mustafa
- Tanggal lahir: Salonika, 1881
- Meninggal: Istanbul, 10 November 1938
- Perjalanan karir:
- 1905 lulus akademi militer di Istanbul, Turki
- 1908 Bergabung dengan Revolusi Turki Muda
- 1909-1918 memegang sejumlah pos tentara Utsmaniyah
- 1912-1913 Ikut dalam Perang Balkan
- 1919 Memulai nasionalis di Anatolia
- 1923 Menjadi Presiden Turki pertama dan memulai program reformasi sosial dan politik revolusioner untuk memodernisasi Turki
- Program revolusioner Ataturk:
- Modernisasi Turki
- Emansipasi wanita
- Memisahkan negara dan agama
- Negara tidak mencampuri urusan agama
- Ubah Masjid Hagia Sofia menjadi museum
- Alasan Kemal Ataturk dipilih:
- Adanya kerja sama Turki-Indonesia yang baik.
- Balasan atas penetapan Nama Presiden Soekarno menjadi nama ruas jalan di depan KBRI Ankara, Turki.
- Lokasi jalan: kawasan Menteng, Jakarta Pusat
Pernyataan Pro dan Kontra
“Kita saling menghormati dan menghargai,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria.
“Dia tokoh yang sangat sekuler. Jelas keputusan ini akan menyakiti umat Islam. Banyak sekali hal-hal yang dia lakukan bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah,” kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas.
“Tokoh anti demokrasi, islamophobia, dan bapak sekulerisme Turki tidak cocok dengan karakteristik Jakarta dan Indonesia. Meski sama-sama bergelar bapak bangsa, ada perbedaan yang mendalam antara Soekarno dan Ataturk,” kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), M Hidayat Nur Wahid.
“Nama belum diputuskan, kami masih menunggu. Yang akan menentukan nama jalannya bukan pemerintah Indonesia atau DKI Jakarta, tetapi Pemerintah Turki,” kata Duta Besar RI untuk Turki, Lalu Muhamad Iqbal
INGE KLARA | SUMBER DIOLAH TEMPO