Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Dokumenter Dirty Vote Tuai Berbagai Respons

Kamis, 15 Februari 2024 16:05 WIB

Iklan

Dokumenter Dirty Vote Tuai Berbagai Respons

Dokumenter Dirty Vote dirilis pada Minggu, 11 Februari 2024. Film dokumenter yang disutradarai oleh Dandhy Laksono ini mengungkap soal dugaan kecurangan Pemilu 2024. Per 13 Februari 2024, dokumenter ini sudah meraih 13 juta penonton. Berikut faktanya. 

Kisi-kisi Dirty Vote

Dokumenter yang diunggah di YouTube itu menceritakan kisah Presiden Joko Widodo, yang diduga mengerahkan lembaga negara untuk membantu kemenangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, anak sulungnya. Rentetan dugaan kecurangan dipaparkan tiga ahli hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. 

Tanggapan 3 Paslon

Berbagai tokoh dari tim pemenangan nasional tiap calon presiden bersuara mengenai rilisnya dokumenter itu. Berikut beberapa tokoh yang memberikan komentar. 

  • Juru Bicara Timnas Amin Iwan Tarigan:

Iwan mengatakan, film tersebut menjadi sumber pengetahuan untuk masyarakat soal politik di Tanah Air.

“Film Dokumenter ini memberikan pendidikan kepada masyarakat bagaimana politisi kotor telah mempermainkan publik hanya untuk kepentingan golongan dan kelompok mereka,” kata Iwan melalui keterangan tertulis pada Ahad, 11 Februari 2024.

  • Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman:

Habiburokhman merasa film itu memiliki tendensi dan keinginan untuk mendegradasi Pemilu 2024 dengan narasi yang menurutnya sangat dasar.  Menurut dia, rakyat juga paham pihak mana yang melakukan kecurangan serta Presiden Jokowi yang berkomitmen menegakkan demokrasi.

“Sebagian besar yang disampaikan film itu adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang bernada asumtif dan sangat tidak ilmiah. Saya mempertanyakan kapasitas tokoh-tokoh yang ada di film itu,“ kata Habiburokhman, di Media Center TKN Prabowo Gibran, pada Minggu, 11 Februari 2024.

  • Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis:

Todung menyebut film itu bagus untuk pendidikan politik masyarakat. Selain itu, Todung menginginkan tidak ada pihak yang membawa perasaan atau baper terhadap film yang digarap Dandhy Laksono itu. Menurut dia, kritik harus dibalas dengan kritik. 

“Banyak hal-hal positif dalam film itu walaupun anda tentu boleh tidak setuju, tapi film ini pendidikan politik yang bagus. Pendidikan politik yang penting bagi masyarakat untuk punya kemelekan memahami dinamika politik di Indonesia,” kata Todung di Media Center Ganjar-Mahfud, Menteng, Jakarta Pusat, pada Ahad, 11 Februari 2024. 

Asal-Usul Pembuatan Dokumenter

Dalam wawancara eksklusif di kanal Youtube Indonesia Baru, Dandhy Laksono mengaku ide untuk pembuatan Dirty Vote berasal dari gelisahan publik soal kecurangan Pemilu. Lebih lanjut, dia mengatakan awalnya tergugah untuk membuat film itu sebulan yang lalu karena menonton podcast Feri Amsari. 

“Dia cerita soal peta kecurangan Pemilu. Orang masih percaya dengan sistem demokrasi dan Pemilu. Sistem yang sudah enggak fair ini dicurangi. Bertubi-tubi banget daya hancurnya pada demokrasi. Saya putuskan, sebulan yang lalu pikiran itu,” kata Dandhy Laksono.

Tiga Ahli Dilaporkan Polisi

Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) resmi melaporkan pada Mabes Polri sutradara dan tiga pakar hukum tata negara yang menjadi pemeran dalam film dokumenter Dirty Vote pada Selasa 13 Februari 2024. 

Natsir menilai film Dirty Vote yang membahas kecurangan Pemilu 2024 telah merugikan salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang ikut berkontestasi. Natsir menyebut sutradara dan ketiga akademisi itu telah melanggar Pasal 287 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Dia juga mendesak agar Bareskrim Polri dapat menindak kasus ini secara profesional. “Karena dilakukan di masa tenang, ini termasuk pelanggaran serius dan tendensius terhadap salah satu calon,” ujarnya. 

KRISNA PRADIPTA | SUMBER DIOLAH TEMPO